Sabtu, 11 April 2015

Sejarah Perekonomian Pemerintahan Transisi (1998)

P
                                         Pemerintahan Transisi (1998)


Tanggal 14 -15 Mei 1997, nilai tukar Bath Thailand terhadap Dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan jual. Mereka mengambil sikap demikian, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Kejadian tersebut akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa Negara Asia lainya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per Dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Menanggapi perkembangan itu, pada bulan Juli 1997 BI melakukan  empat kali intervensi, yakni memperlebar rentang intervensi. Akan tetapi, pengaruhnya tidak banyak, nilai Rupiah Dolar AS terus tertekan, dan tanggal 13 Agustus 1997 Rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah, yakni Rp 2682 perDolar AS sebelum akhirnya ditutup Rp 2655 perDolar AS. Hari-hari dan bulan-bulan berikutnya, kurs Rupiah terus melemah walaupun sekali-kali mengalami penguatan beberapa poin. Pada bulan Maret 1998 nilai Rupiah mencapai Rp 10.550 untuk satu Dolar AS, walaupun sebelumnya antara bulan Januari-Februari sempat menembus Rp 11.000 Rupiah per Dolar AS.
            Nilai tukar Rupiah terus melemah dan mulai mengguncang perekonomian nasional sekitar bulan September 1997. Untuk mencegah agar keadaan tidak bertambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah kongkrit, di antaranya menunda proyek-proyek senilai 39 triliun Rupiah dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja Negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai Rupiah tersebut. Pada awalnya, pemerintah berusaha untuk menanggani masalah krisis Rupiah ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi, setalah menyadari bahwa merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS tidak dapat dibendung lagi dengan kekuatan sendiri, terlebih lagi karena cadangan Dolar AS di BI sudah mulai menipis karena terus digunakan untuk intervensi menahan atau mendongkrak kembali nilai tukar Rupiah. Tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.
            IMF mengumumkan paket bantuan keuangan terhadap Indonesia pada akhir OKtober 1997 yang mencapai 40 miliar Dolar AS, 23 miliar di antaranya adalah Pertahanan Lapis Pertama (from-line devidence). Sehari setelah pengumuman itu, seiring dengan paket reformasi yang ditentukan oleh IMF, pemerintah Indonesia mengumumkan pencabutan izin usaha 16 Bank Swasta yang dinilai tidak sehat. Ini merupakan awal dari kehancuran perekonomian Indonesia.
            Paket program pemulihan ekonomi yang diisyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 milliar Dolar AS. Pertama, diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebut oleh pemerintah Indonesia, nilai Rupiah akan kuat dan akan stabil kembali, akan tetapi, kenyataan menunjukan bahwa nilai Rupiah terus melemah sampai perubahan mencapai Rp 15.000 per Dolar AS. Kepercayaan masyrakat di dalam dan di luar Negeri terhadap kinerja ekonomi Indonesia yang pada waktu itu terus merosot membuat kesepakatan itu harus ditegaskan dalam nota kesepakatan (letter of intention) yang ditandatangani bersama antara pemerintah Indonesia dan IMF pada bulan Januari 1998. Nota kesepakatan itu terdiri atas 50 butir kebijaksanaan-kebijaksanan mencakup ekonomi makro (fiskal dan moneter), restruktirisasi sektor keuangan dan revormasi struktural (Tambunan, 2006b).
            Butir-butir dalam kebijaksanaan piskal mencakup: penegasan tetap menggunakan prinsip anggaran berimbang (pengeluaran pemerintah=pendapatannya), usaha-usaha pengurangan pengeluaran pemerintah, seperti menghilangkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, membatalkan sejumlah proyek infratruktur besar, dan peningkatan pendapatan pemerintah. Usaha-usaha terakhir ini akan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk menaikkan cukai terhadap sejumlah barang tertentu, mencabut semua fasilitas kemudahan pajak, di antaranya penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN), dan fasilitas pajak serta tarif bea-masuk yang selama ini diberikan antara lain kepada Industri Mobil Nasional (Timor), mengenakan pajak tambahan terhadap bensin, memperbaiki audit PPN, dan memperbanyak objek pajak.
            Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua Negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi. Sedangkan pemerintah Indonesia ternyata tidak melakukan reformasi sesuai kesepakatannya itu dengan IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar Dolar AS yang seharusnya dilakukan bulan Maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal, yaitu:                                                  
1.      Berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di Negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi menerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan infestor-infestor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya; bahkan mereka tidak lagi percaya pada niat baik atau keseriusan pemerintah dalam menangani krisis ekonomi di dalam negeri.[7] Oleh karena itu, satu-satunya yang masih bisa menjamin atau memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Indonesia adalah melakukan “Kemitraan usaha” sepenuhnya antara pemerintah Indonesia dan IMF.[8]
2.      Indonesia sangat membutuhkan Dolar AS. Pada awal tahun 1998 kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar Dolar AS atau rata-rata 1,9 miliar Dolar AS per bulan. Sementara, posisi cadangan devisa bersih yang dimiliki BI hingga awal Juni 1998 hanya 14.621,4 juta Dolar AS, naik dari 13.179, 7 juta Dolar AS pada akhir Maret 1998. Kebutuhan itu digunakan terutama untuk membayar ULN jangka pendek yang diperkirakan pada pertengahan tahun 1998 sebesar 20 miliar Dolar AS, membayar bunga atas pinjaman jangka panjang 0,9 miliar Dolar AS, dan sisanya sebanyak 1,5 miliar Dolar AS untuk kegiatan ekonomi di dalam negeri yang juga sangat diperlukan untuk memacu laju pertumbuhan ekonomi.[9]
Setelah gagal dalam pelaksanan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintaha Indonesia dan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama “Memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi keuangan” yang berisi antara lain sebagai berikut :
1.      Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilakan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2.      Restukturisasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3.      reformasi struktural, yang disepakati agenda baru mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998 ).
4.      Penyelesaian ULN Swasta (cortorat debt). Dalam hal ini, disepakati perlu dikembangkannya kerangka penyelesaian ULN Swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, tetapi tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
5.      Bantuan untuk rakyat kecil (rakyat ekonomi lemah) yang penyelesaian ULN Swasta merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998).[10]
Pertengahan 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Memorandum tambahan ini memutakhirkan dokumen terdahulu untuk menampung perubahan-perubahan setelah Januari 1998 pada situasi perekonomian ekonomi makro dan prospeknya, dan juga menunjukkan bidang-bidang yang strateginya perlu disesuaikan, diperluas, atau diperkuat.
            Krisis Rupiah yang menjelma menjadi satu krisis ekonomi, akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka pada tahun 1945. Krisis politik tersebut diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap 4 mahasiswa Universitas Tri Sakti, tepatnya tangggal 13 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Tri Sakti. Kemudian pada tanggal 14-15 Mei kota Jakarta dilanda suatu kerusuhan yang juga dapat dikatakan paling besar dan paling sadis yang pernah dialami Indonesia. Setelah kedua peristiwa tersebut, gerakan mahasiswa yang sebelumnya sudah berlangsung semakin gencar. Akhirnya pada tanggal 21 mei 1998, presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan wakilnya Habibie. Sedangkan, tanggal 23 Mei 1998 Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintah transisi.


sumber :-  http://iindahwati.blogspot.com/2013/05/sejarah-perekonomian-indonesia.html